Process Equipment Control : (6) Distillation Column Control – Pressure Control
Dikutip dari http://asro,wordpress.com di/pada 21 Mei 2009
Kolom distilasi (distillation column) merupakan peralatan proses yang banyak digunakan dalam industri proses termasuk kilang minyak. Kolom distilasi digunakan untuk memisahkan suatu bahan yang mengandung dua atau lebih komponen bahan menjadi beberapa komponen berdasarkan perbedaan volatility (kemudahan menguap) dari masing-masing komponen bahan tersebut.
Kolom distilasi merupakan serangkaian peralatan proses yang terdiri dari preheater, column, condenser, accumulator, reboiler serta peralatan pendukungnya, dengan konfigurasi seperti pada gambar berikut.
Kolom (column) atau sering disebut tower memiliki dua kegunaan; yang pertama untuk memisahkan feed (material yang masuk) menjadi dua porsi, yaitu vapor yang naik ke bagian atas (top/overhead) kolom dan porsi liquid yang turun ke bagian bawah (bottom) kolom; yang kedua adalah untuk menjaga campuran kedua fasa vapor dan liquid (yang mengalir secara counter-current) agar seimbang, sehingga pemisahannya menjadi lebih sempurna.
Overhead vapor akan meninggalkan bagian atas kolom dan masuk ke condenser, vapor yang menjadi liquid akan dikumpulkan di accumulator. Sebagian liquid dari accumulator dikembalikan ke kolom sebagai reflux, sedangkan sebagian lainnya sebagai overhead product atau distillate.
Bottom liquid keluar dari bagian bawah kolom dan dipanaskan ke reboiler. Sebagian liquid menjadi vapor dan dikembalikan ke kolom, dan sebagian lainnya akan dikeluarkan sebagai bottom product atau residue.
Ini adalah konfigurasi kolom yang relative sederhana, pada aplikasi yang lebih kompleks, sebagian vapor atau liquid ditarik dari beberapa titik di bagian samping kolom (sidestream) sebagai intermediate product dan/atau sebagai reflux.
Pada umumnya bahan yang akan dipisahkan (feed) dimasukkan kedalam kolom melalui bagian samping kolom tersebut. Komponen yang lebih ringan akan menguap menjadi vapor dan naik ke bagian atas (overhead) kolom , sedangkan komponen yang lebih berat berbentuk liquid akan jatuh ke bagian bawah (bottom) kolom. Agar pemisahan dapat terjadi secara efektif, maka kedua fasa vapor dan liquid harus ada sepanjang kolom. Untuk menjaga tercapainya kondisi seperti ini, maka kondisi operasi kolom harus dijaga dengan menggunakan sistem kontrol.
Sacar garis besar sistem kontrol pada kolom distilasi terdiri dari:
- Pressure control.
- Reflux control.
- Reboiler control.
- Pump arround control.
- Feed control.
Serie ini akan membahas pressure control pada kolom distilasi, sedangkan sistem kontrol lainnya akan dibahas pada serie selanjutnya.
Pressure control sangat penting dalam kolom distilasi karena berguna untuk menjaga kestabilan kondisi equilibrium material dalam kolom. Bila pressure kolom berubah-ubah maka proses pemisahan menjadi tidak sempurna (upset). Pemilihan setpoint untuk pressure control merupakan hasil kompromi dua kepentingan. Di satu sisi, pressure harus diambil cukup tinggi agar proses kondensasi overhead vapor oleh condensor (heat exchanger dengan medium pendingin) bisa terjadi, namun disisi lain pressure harus cukup rendah agar proses vaporisasi bottom liquid oleh reboiler (heat exchanger dengan medium pemanas) juga bisa terjadi. Pemilihan pressure ini dilakukan pada saat design karena akan menentukan ukuran/spec dari peralatan yang digunakan terutama condensor dan reboiler.
Konfigurasi pressure control yang akan digunakan sangat bergantung pada jenis phase product/stream yang dihasilkan dan bergantung juga pada kandungan uncondensable materials (material yang tidak terkondensasi) dalam overhead vapor.
Berikut akan dibahas beberapa konfigurasi pressure control yang didasarkan pada kondisi yang berhubungan dengan phase product serta kehadiran uncondensable materials seperti berikut:
- Produk berupa vapor dan ada uncondensable materials.
- Produk berupa vapor dan tidak ada uncondensable materials.
- Produk berupa liquid dan tidak ada uncondensable materials.
- Produk berupa liquid dan ada uncondensable materials.
1. Produk berupa vapor dan ada uncondensable materials. Pada kasus ini, overhead product yang dihasilkan berupa vapor. Oleh karena itu, maka pressure control dapat langsung mangatur aliran/flow produk, seperti gambar 2a dan 2b. Dengan konfigurasi seperti ini, response pressure control cukup cepat.
Cara kerjanya adalah sbb: Apabila pressure turun → pressure control bereaksi menutup control valve → banyak vapor yang terakumulasi → menaikan pressure kembali. Apabila pressure naik → pressure control bereaksi membuka kontrol valve → vapor dibuang keluar → menurunkan pressure kembali. Apabila parameter pressure controller di-tunning dengan benar, maka akan diperoleh kondisi stabil dimana pressure akan berada pada nilai sesuai setpointnya.
Liquid hasil kondensasi di condenser yang tertampung di accumulator hanya digunakan untuk kebutuhan reflux. Level pada accumulator dijaga dengan beberapa cara, yaitu: 1) mengatur aliran cooling system, gambar 2a dan 2b, atau 2) flow cooling system dijaga constant dan level control memanipulasi aliran condensate yang dilewatkan ke mini vaporizer kemudian vapor tersebut digabung dengan line yang berasal dari pressure control valve, gambar 2c, atau 3) memanipulasi vapor yang di-bypass dari condenser, gambar 2d.
Konfigurasi level control seperti gambar 2a dan 2b digunakan hanya bila condenser mempunyai water residence time yang pendek sehingga tidak menyebabkan time lag yang panjang pada level control. Jika tida, maka sebaiknya menggunakan konfigurasi gambar 2c atau 2d.
2. Produk berupa vapor dan tidak ada uncondensable materials. Apabila produknya berupa vapor dan tidak ada uncondensable materials, maka pressure kolom dibuat dengan jalan memasukkan inert gas atau fuel gas ke proses/kolom lalu dibuang lagi ke venting/flare (gambar 3a atau 3b). Pada konfigurasi seperti ini, pressure dijaga dengan cara mengatur aliran inert gas/fuel gas yang masuk dan aliran ke venting/flare. Gambar 3b digunakan apabila hendak menghilangkan impurity/soluble gas dalam liquid.
Cara kerjanya adalah sbb: Apabila pressure turun → pressure control bereaksi membuka control valve injection dan menutupp control valve venting → pressure akan naik. Apabila pressure naik → pressure control bereaksi menutup control valve injection dan membuka control valve venting → pressure akan turun. Apabila parameter pressure control di-tunning dengan benar, maka akan diperoleh kondisi stabil dimana pressure akan berada pada nilai sesuai setpointnya. Dalam konfigurasi ini, kedua control valve injection dan venting bisa dibuat split-range.
Konfigurasi level control pada accumulator dapat menggunakan salah satu dari konfigurasi yang dijelaskan pada item 1 diatas (gambar 2a, 2b, 2c atau 2d).
3. Produk berupa liquid dan tidak ada uncondensable materials. Sama seperti produk berbentuk vapor, maka idealnya pressure dijaga dengan memanipulasi aliran produk. Akan tetapi karena produknya liquid dan diambil (draw-off) dari accumulator, maka time lag-nya cukup besar yang dapat menyebabkan kinerja pressure control menjadi jelek. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk dilakukan adalah dengan mengatur kecepatan terbentuknya liquid di condenser, dimana penggunaannya sangat bergantung pada konstruksi mekanis dari condenser tersebut.
a) Konfigurasi pertama adalah dengan mengatur aliran cooling system (gambar 4a). Cara kerjanya adalah sbb: Apabila pressure naik yang berarti banyak vapor yang terakumulasi di condenser, pressure control akan membuka control valve cooling system sehingga memperbesar aliran cooling yang masuk yang menyebabkan lebih banyak vapor yang terkondensasi. Dengan banyak vapor yang terkondensasi, pressure kembali turun. Bila pressure turun, pressure control akan menutup control valve cooling system sehingga memperkecil aliran cooling yang masuk yang mengurangi vapor yang terkondensasi. Pengurangan vapor yang terkondensasi ini akan menaikan pressure. Apabila parameter pressure controller di-tunning dengan benar, maka akan diperoleh kondisi stabil dimana pressure akan berada pada nilai sesuai setpointnya. Konfigurasi ini digunakan jika residence time cooling system pendek, karena jika tidak maka lag time pressure control menjadi besar yang menyebabkan kinerja control jelek.
b) Konfigurasi kedua adalah dengan mengatur aliran liquid dari condenser ke accumulator, (gambar 4b dan 4c). Cara kerjanya adalah sbb: Apabila pressure-nya naik, yang biasanya disebabkan condenser berisi banyak liquid sehingga ruangan/permukaan condenser menjadi sedikit yang menyebabkan banyak vapor tidak terkondensasi, maka pressure control akam membuka control valve sehingga liquid pada condenser mengalir ke accumulator. Dengan membukanya control valve ini, liquid pada condenser berkurang sehingga ruang kondensasi bertambah yang menyebabkan banyak vapor yang terkondensasi sehingga pressure kembali turun. Sebaliknya, apabila pressure turun maka pressure control akan menutup control valve, liquid yang terakumulasi di condenser bertambah sehingga memperkecil ruangan/permukaan kondensasi. Hal ini akan menyebabkan sedikit vapor yang terkondensasi sehingga pressure naik.
c) Konfigurasi ketiga adalah dengan mengatur aliran vapor ke accumulator yang di-bypass terhadap condenser (gambar 4d). Konfigurasi ini digunakan bila elevasi condenser dibawah accumulator. Cara kerjanya adalah sbb: Apabila pressure naik, yang biasanya disebabkan condenser berisi banyak liquid sehingga ruangan/permukaan kondensasi menjadi sedikit yang menyebabkan banyak vapor yang tidak terkondensasi, maka pressure control akan menutup control valve yang menyebabkan adanya perbedaan pressure antara line vapor dan accumulator. Perbedaan pressure ini menyebabkan liquid dari condenser akan mengalir ke accumulator. Dengan mengalirnya liquid ke accumulator, maka liquid pada condenser berkurang sehingga ruang kondensasi bertambah yang menyebabkan banyak vapor yang terkondensasi sehingga pressure kembali turun. Sebaliknya, apabila pressure turun maka pressure control akan membuka control valve, yang menyebabkan pressure pada line vapor dan condenser sama. Karena elevasi condenser lebih rendah dari accumulator maka condenser akan terisi dengan liquid yang memperkecil ruangan kondensasi. Hal ini akan menyebabkan sedikit vapor yang terkondensasi sehingga pressure kembali naik.
4. Produk berupa liquid dan ada uncondensable materials. Pada dasarnya konfigurasi pressure control untuk kondisi ini hampir sama dengan item 3 (produk liquid tanpa uncondensable materials). Yang membedakannya hanya karena kehadiran uncondensable materials. Sesuai dengan sifatnya yang uncondensable maka materials ini tidak akan terkondensasi di condenser maka lama kelamaan material ini akan terakumulasi di condenser dan menutupi/menyelimuti permukaan kondensasi sehingga produk tidak akan terkondensasi, pada akhirnya menyebabkan pressure di condenser akan bertambah terus tanpa bisa dikendalikan. Oleh karena itu, maka material ini harus dihilangkan, misalnya dengan membuang ke venting system, flare atau ke low pressure vessel. Agar pressure di condenser tetap terkendali, maka proses pembuangan uncondensable materials juga dilakukan dengan menggunakan pressure control, seperti terlihat pada gambar 5a dan 5b.
a) Konfigurasi pertama (gambar 5a) mirip gambar 4a. Prinsip kerjanya adalah sbb: - Apabila liquid sudah banyak terbentuk di condenser dan uncondensable materials juga sudah banyak terkumpul di atasnya, pressure kolom akan naik. Kenaikan pressure ini menyebabkan pressure control bereaksi membuka control valve venting sehingga vapor pada condenser akan terbuang melalui venting valve dan menutup control valve line pendingin sehingga mengurangi terbentuknya liquid. Sehingga pressure kolom turun. – Sebaliknya, penurunan pressure akan menyebabkan pressure control bereaksi menutup control valve venting dan membuka control valve pendingin, sehingga vapor kembali kembali terkondenasi menjadi liquid, sedangkan uncondensable materials akan terakumulasi diatasnya sehingga menyebabkan pressure kolom kembali naik.
b) Konfigurasi kedua (gambar 5b) mirip gambar 4b. Prinsip kerjanya adalah sbb: – Apabila liquid sudah banyak terbentuk di condenser dan uncondensable materials juga sudah banyak terkumpul di atasnya, pressure kolom akan naik. Kenaikan pressure ini menyebabkan pressure control bereaksi membuka kedua control valve, sehingga vapor pada condenser akan terbuang melalui venting valve dan liquid akan turun ke accumulator. Dengan demikian pressure kolom akan turun. - Sebaliknya, penurunan pressure kolom akan menyebabkan pressure control bereaksi menutup kedua control valve, sehingga vapor kembali terkondensasi menjadi liquid pada condenser, sedangkan uncondensable materials akan terakumulasi diatasnya sehingga menyebabkan pressure kolom kembali naik.
Ditulis dalam Process Equipment Control | Tidak ada komentar »
Process Equipment Control : (5) Heater Control
Ditulis oleh asro di/pada 6 Maret 2009
Heater atau terkadang disebut furnace adalah peralatan proses yang berguna untuk menaikan temperature suatu material. Energi panas yang dipakai berasal dari hasil pembakaran sehingga disebut juga dengan fire heater. Secara garis besar, peralatan ini terbuat dari metal (metal housing) yang dilapisi refractory pada bagian dalamnya sebagai isolasi panas sehingga panas tidak terbuang keluar. Material yang dipanaskan/charge bisa berbentuk padat, cair atau gas. Berdasarkan fungsinya, heater dikelompokan menjadi:
- Heater untuk memanaskan dan/atau menguapkan charge (misalnya heater untuk distillation charge atau reboiler).
- Heater untuk memberikan panas reaksi pada feed reactor.
- Heater untuk memanaskan material yang akan diubah bentuk fisiknya.
Tulisan ini akan membahas sistem kontrol untuk jenis heater yang banyak digunakan di kilang minyak (refinery), yaitu heater untuk distillation charge, heater untuk feed reactor dan reboiler. Heater jenis ini, umumnya menggunakan bahan bakar minyak (fuel oil) dan/atau gas (fuel gas).
Seperti diperlihatkan pada gambar di atas, process medium yang akan dipanaskan dimasukkan ke heater, dalam heater medium tersebut dipanaskan oleh panas hasil pembakaran fuel, sehingga saat keluar dari heater, suhu medium tersebut menjadi lebih tinggi.
Secara umum, sistem kontrol pada heater bertujuan untuk:
- Menjaga agar temperature medium selalu sesuai dengan yang diinginkan.
- Menjaga proses perpindahan panas berlangsung secara efektif, efisien dan aman.
- Menjaga agar proses pembakaran berlangsung dengan efisien.
Jenis sistem kontrol yang umumnya digunakan dalam heater adalah:
- COT control.
- Combustion control.
- Fuel heating value compensation.
- Duty feedforward control.
- Pass temperature balance control.
- Total flow control.
COT control dan Combustion control. Tujuan dari COT control adalah menjaga temperature process medium yang keluar dari heater (coil outlet temperature) agar sesuai setting-nya (setpoint), yang dilakukan dengan mengatur besar kecilnya proses pembakaran (combustion control), melalui pengaturan aliran/flow fuel yang masuk ke heater. Khusus untuk combustion control, terdapat berbagai jenis, ada yang sederhana, ada juga yang kompleks, bergantung pada jenis draft (natural draft atau force draft) dan jenis fuel yang digunakan (fuel oil atau fuel gas atau keduanya). Berikut adalah beberapa contoh konfigurasi COT-Combustion control.
Ini adalah COT-Combustion control untuk natural draft heater dengan hanya menggunakan fuel oil sebagai bahan bakar. Pada konfigurasi ini, TOC control (TC) di-cascaded dengan fuel oil pressure control (PC) untuk mengantisipasi perubahan pressure fuel oil. Jika COT lebih kecil dari setpoint, control akan bereaksi membuka control valve fuel oil untuk memperbesar pembakaran, sebaliknya jika COT lebih besar dari setpoint, control akan bereaksi menutup control valve fuel oil. Pada heater jenis natural draft seperti ini, combustion air flow tidak dikontrol. Besar aliran combustion air diset secara manual pada rate yang memungkinkan fuel oil dapat terbakar habis pada seluruh rentang operasi heater, sambil menjaga excess air tidak berlebih.
Berikut adalah COT-Combustion control untuk force draft heater dengan menggunakan fuel oil dan/atau fuel gas.
Dalam konfigurasi ini, COT control (TC) di-cascaded ke fuel oil pressure control (PC) atau ke fuel gas flow control (FC). Operator dapat memilih apakah COT di-cascaded ke PC atau ke FC melalui hand switch (HS). Jika TC di-cascaded ke PC, maka FC diset ke mode Auto atau pada flow maksimum, begitu pula sebaliknya. Pada konfigurasi ini, combustion air flow di-adjusted dengan menggunakan O2 control (AC), dengan cara ini, excess air bisa dijaga.
Contoh COT-Combustion control lainnya adalah untuk force draft heater dengan menggunakan fuel oil dan fuel gas, seperti gambar berikut.
Pada konfigurasi ini, COT control (TC) di-cascaded ke total fuel flow control dan ke combustion air flow control, melalui low dan high selector. Penggunaan low dan high selector ini dimaksud untuk menjamin kecukupan combustion air dalam membakar habis fuel pada berbagai kondisi beban. Dalam konfigurasi ini, fuel/air ratio dapat diset di combustion air flow control. Operator dapat memililih besarnya persentase/porsi fuel gas dan fuel oil melalui split range.
Fuel Heating Value Compensation. Perhatikan gambar terakhir di atas, andaikan fuel gas yang digunakan memiliki kandungan panas (heating value) yang berubah-ubah (misalnya SG yang berubah), maka besarnya api/panas hasil pembakaran juga akan berubah walaupun COT-combustion control tidak bereaksi mengubah aliran fuel yang masuk. Perubahan fuel gas heating value ini akan mengubah COT. Apabila perubahan tersebut berlangsung secara terus menerus, maka COT tidak akan berada pada setpoint-nya untuk waktu yang lama. Untuk mengatasi permasalahan ini ditambahkan konfigurasi fuel gas heating value compensation, seperti gambar berikut.
Tujuan konfigurasi ini adalah untuk mengkompensasi perubahan kandungan panas (heating value) fuel gas, sehingga tidak berpengaruh pada COT. Dalam konfigurasi ini, flow fuel gas hasil pengukuran dikompensasi sebelum digunakan pada fuel gas flow control maupun total fuel flow control. Formula untuk kompensasi adalah sbb:
Formula ini, dijalankan di FY, sedangkan switch HS digunakan operator untuk memilih apakah menggunakan kompensasi atau tidak.
Duty Feedforward Control. Perhatikan kembali gambar terakhir di atas, andaikan aliran/flow medium yang masuk berubah-ubah, maka ini akan menyebabkan COT juga berubah-ubah. Untuk mengatasinya ditambahkan konfigurasi feedforward control seperti pada gambar berikut.
Secara umum, tujuan duty feedforward control adalah untuk menghilangkan/mengurangi dampak perubahan heater duty terhadap COT. Heater duty dihitung dengan menggunakan formula berikut.
Konfigurasi feedforward pada gambar di atas dibuat dengan asumsi perubahan Cp dan T tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan perubahan F, sehingga variable feedforward hanya F.
Pass Temperature Balance Control. Umumnya heater memiliki lebih dari satu pass (pass adalah pipa/tube yang masuk dan keluar heater dimana media yang akan dipanaskan dialirkan), seperti diperlihatkan pada gambar berikut.
Tujuan pass temperature balance control adalah untuk menyeimbangkan/menyamakan temperature fluida yang keluar dari semua pass, dengan jalan mengatur flow medium yang masuk ke masing-masing pass sambil menjaga total flow rate selalu bernilai tetap. Secara umum, dengan pass temperature balance control, pass yang outlet temperature-nya yang tinggi akan ditambah flow-nya dan pass yang outlet temperature-nya rendah akan dikurangi flow-nya, sehingga tercapai outlet temperature yang sama untuk semua pass. Hal ini dimaksud agar pengoperasian heater bisa lebih efektif dan efisien, karena:
- Pada kondisi ini proses terjadinya cracking maupun coke pada pass bisa dikurangi dengan membatasi temperature maksimum pada setiap pass.
- Mengurangi penggunaan fuel (bahan bakar).
Mekanisme pengaturan flow pada masing-masing valve/pass dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu:
- Pengaturan flow ratio, yaitu dengan menghitung weight average outlet temperature.
- Pengaturan flow secara langsung, yaitu dengan menghitung average temperature.
Pengaturan flow ratio. Merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan. Weight average outlet temperature, dihitung dengan menggunakan formula berikut:
Pengaturan flow ratio. jika pengaturan flow dilakukan secara langsung, maka persamaan berikut digunakan:
Gambar berikut adalah contoh aplikasi pass temperature balance control pada heater yang memiliki 2 pass.
Total Flow Control. Konfigurasi kontrol ini digunakan pada heater yang memiliki lebih dari satu pass. Tujuannya adalah untuk mempermudah operator untuk mengeset total flow melalui satu controller (yaitu melalui total flow controller) ketimbang melalui flow controller masing-masing pass. Output controller ini, kemudian didistribusikan ke flow controller masing-masing pass melalui pass temperature balance control, seperti terlihat pada gambar di atas. Fset adalah setpoint untuk total flow control.
Ditulis dalam Process Equipment Control | Tidak ada komentar »
Process Equipment Control : (4) Boiler Control
Ditulis oleh asro di/pada 30 Januari 2009
Boiler merupakan salah satu peralatan proses yang berfungsi memproduksi steam/uap. Steam yang dihasilkan tersebut akan digunakan untuk berbagai macam keperluan, antara lain sebagai penggerak turbine dan sebagai media pemanas dalam unit proses.
Seperti terlihat pada gambar berikut, air (feedwater) dimasukkan ke Boiler dan dipanaskan, dalam hal ini oleh panas hasil pembakaran fuel sehingga menghasilkan steam. Fuel yang digunakan bisa fuel gas atau fuel oil atau keduanya (selain dari hasil pembakaran fuel, panas yang digunakan juga bisa berasal dari sumber lainnya, seperti pembakaran batu bara, kayu/ampas, atau media pemanas lainnya).
Secara umum, tujuan sistem kontrol pada boiler adalah agar produk steam yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang dikehendaki sambil tetap menjaga agar boiler dapat beroperasi dengan efisien dan aman. Secara garis besar, sistem kontrol pada boiler ini terdiri dari: 1) Drum level control; 2) Combustion control; 3) Atomizing control; 4) Blowdown control; 5) Steam temperature control.
Drum Level Control. Tujuan drum level control adalah menjaga agar level drum (tinggi permukaan air dalam drum) tetap pada setpoint-nya walaupun terjadi perubahan beban ataupun gangguan/disturbance lainnya. Level drum yang terlalu rendah bisa menyebabkan terjadinya panas berlebih (overheated) pada boiler tubes sehingga tubes bisa menjadi rusak/bengkok/bocor. Sebaliknya level drum yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemisahan air dan steam dalam drum tidak sempurna sehingga kualitas steam yang dihasilkan kurang (banyak mengandung air/basah).
Ada tiga alternative/jenis drum level control, yaitu: 1) Single element drum level control; 2) Two-element drum level control; 3) Three-element drum level control.
Single-element drum level control. Ini merupakan konfigurasi drum level control yang paling sederhana, yaitu hanya menggunakan feedback level control. Disebut single-element karena hanya level drum saja yang dikontrol. Konfigurasi kontrol ini umumnya digunakan pada boiler berkapasitas rendah (<150,000>
Two-element drum level control. Konfigurasi ini digunakan untuk mengatasi kekurangan konfigurasi single-element dalam menangani fluktuasi beban, yaitu dengan jalan menambah steam flow control (yang mewakili beban boiler) sebagai feedforward control. Jadi, dalam konfigurasi ini, terdapat dua controller, yaitu level control sebagai feedback dan steam flow control sebagai feedforward control, sehingga disebut dengan two-element control. Konfigurasi ini cocok untuk single drum boiler dengan kondisi pressure/flow feedwater yang relative konstan.
Three-element drum level control. Ini merupakan konfigurasi yang paling lengkap, yang dibentuk dengan menambah feedwater flow control dalam konfigurasi cascade. Penambahan feedwater flow control ini dimaksud untuk mengantisipasi fluktuasi pada flow/pressure feedwater, yang umumnya terjadi pada feedwater line yang menggunakan beberapa pompa (multiple pump) untuk melayani beberapa boiler sekaligus (multiple boiler).
Combustion Control. Tujuan combustion control adalah untuk menjaga pressure steam yang dihasilkan boiler agar selalu sesuai dengan yang dikehendaki (sesuai setpoint-nya). Oleh karena itu, dalam konfigurasi combustion control, steam pressure (biasanya diambil dari steam header) digunakan sebagai master control, outputnya di-cascade dengan fuel flow control dan combustion air flow control (air di sini maksudnya udara). Jika terjadi kenaikan beban (yang ditandai dengan turunnya pressure steam dari setpoint-nya), maka fuel flow control dan combustion air flow control akan bereaksi membuka control valve. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan beban (yang ditandai dengan kenaikan pressure steam dari setpoint-nya), maka kedua control tersebut akan bereaksi menutup control valve.
Fuel flow control dan combustion air flow control di-interkoneksi untuk menjamin agar combustion air/udara selalu cukup tersedia untuk membakar habis fuel pada kondisi berapapun perubahan flow fuel. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi akumulasi fuel yang tidak terbakar di dalam ruang bakar karena sangat membahayakan (bisa menimbulkan ledakan). Interkoneksi fuel flow control dan combustion air flow control ini dilakukan melalui selector switch (high dan low), seperti pada gambar berikut.
Dalam konfigurasi ini, apabila terjadi kenaikan beban, maka yang terlebih dahulu bereaksi untuk membuka control valve adalah combustion air flow control baru kemudian fuel flow control. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan beban, maka yang terlebih dahulu bereaksi untuk menutup control valve adalah fuel flow control baru kemudian combustion air flow control.
Master control. Seperti yang dijelaskan di atas, yang menjadi master dalam combustion control adalah pressure steam. Apabila lebih dari satu boiler digunakan secara paralel, maka perlu ada pembagian beban/load ke masing-masing boiler. Untuk keperluan pembagian beban ini, maka sinyal/informasi yang berasal dari master control akan dikirim ke loading station di masing-masing boiler, seperti pada gambar berikut. Dengan loading station, operator dapat memberikan bias ke master control. Output loading station akan dikirim ke steam flow control masing-masing boiler.
Kadang kala, untuk pertimbangan efisiensi, suatu boiler diopresikan pada beban tetap, sedangkan beban boiler lainnya dibiarkan berubah-ubah secara otomatis untuk disesuaikan dengan perubahan total beban. Untuk keperluan ini, boiler berbeban tetap tersebut dioperasikan berbasiskan beban (based load), dimana sebagai master bukan steam pressure control, tetapi steam flow control.
Fuel flow – air flow control. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa salah satu hal yang paling penting dalam combustion control adalah menjaga agar perbandingan fuel flow/combustion air flow (fuel/air ratio) selalu terpenuhi untuk pembakaran yang sempurna. Data fuel/air ratio diperoleh dari operation test. Indicator terjadinya pembakaran yang sempurna adalah jika terdapat excess air (oksigen) secukupnya dalam gas sisa pembakaran. Excess air yang berlebih menyebabkan operasi boiler tidak efisien karena sebagian panas akan diserap oleh kelebihan udara tersebut. Excess air yang kurang juga mengurangi efisiensi karena sebagian fuel tidak terbakar. Yang lebih berbahaya adalah terakumulasinya fuel yang tidak terbakar dalam ruang bakar karena dapat menyebabkan ledakan.
Fuel/air ratio bisa berubah, antara lain disebabkan oleh perubahan kandungan panas (btu content) dari fuel atau perubahan suhu udara. Untuk itu maka dalam combustion control perlu ada fasilitas untuk merubah nilai perbandingan ini, seperti diperlihatkan pada gambar berikut.
Perubahan fuel/air ratio bisa dilihat dari perubahan excess air di gas buangan hasil pembakaran. Dari informasi mengenai perubahan excess air ini (melalui pengukuran dengan O2 analyzer), operator merubah ratio ini dengan cara memberikan bias seperti pada gambar diatas.
Apabila fuel yang digunakan adalah fuel gas, maka sebaiknya dilengkapi dengan pressure compensation untuk mengatasi fluktuasi pressure pada supply fuel gas. Jika menggunakan fuel oil, maka diperlukan atomizing control agar pembakaran fuel oil bisa lebih sempurna. Atomizing control akan dibahas pada topik tersendiri.
Apabila menggunakan dua jenis fuel (fuel gas dan fuel oil), maka hasil pengukuran fuel gas flow dan fuel oil flow dijumlahkan dulu baru dikirim ke total fuel flow control sebagai measurement/process variable (PV) dan ke combustion air high selector switch, seperti diperlihatkan dalam gambar diatas. Selanjutnya, output total fuel flow control dikirim ke masing-masing flow control fuel oil dan fuel gas melalui pembagi (FY2) dan FY3). Besarnya porsi fuel oil dan fuel gas di-set oleh operator melalui hand control (HC). Penggunaan high selector (>) sebelum control valve dimaksud untuk mengantisipasi fluktuasi pressure pada line fuel.
Oxygen control. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa untuk mengatasi perubahan fuel/air ratio, operator memberi/mengubah bias secara manual dengan berpedoman pada excess air hasil pengukuran O2 analyzer. Jika kandungan panas (btu content) dalam fuel berfluktuasi secara terus menerus, maka akan lebih baik jika adjustment fuel/air ratio tersebut tidak dilakukan secara manual, melainkan secara otomatis. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah/menggunakan O2 control, seperti gambar berikut.
Nilai optimal excess air pada operasi boiler tidak tetap, tetapi bergantung pada beban boiler, pada beban rendah nilai optimal excess air tinggi, sebaliknya pada beban tinggi nilai optimal excess air rendah. Nilai optimal excess air pada suatu boiler diperoleh dari plant/operational test, salah satu contohnya seperti diperlihatkan pada tabel berikut.
Setpoint untuk O2 control (AC) akan mengikuti nilai pada tabel tersebut sesuai perubahan beban, seperti terlihat pada konfigurasi kontrol di atas (dijalankan di AY).
Fuel/air ratio juga diperoleh dari plant/operational test. Tabel berikut adalah contoh fuel/air ratio dari hasil test tersebut.
Fungsi fuel/air ratio ini akan dijalankan/dieksekusi di FY1 (lihat gambar di atas). Automatic bias untuk fuel/air ratio dilakukan di FY2 dengan menggunakan formula berikut: Bias air flow = (air flow/(0.4 x output oxygen control + 80)) x 100.
Atomizing Control. Pada boiler yang menggunakan fuel oil, diperlukan proses atomizing untuk memecah-mecah molekul fuel oil sehingga proses pembakaran berjalan dengan sempurna. Salah satu jenis proses atomizing ini adalah dengan menggunakan steam atomizing, yaitu dengan cara memberi tekanan (dengan menggunakan tekanan steam) pada nozzle penyemprot fuel oil. Agar proses atomizing ini selalu berjalan dengan sempurna pada berbagai kondisi tekanan/pressure fuel oil maupun steam atiomizing , maka digunakan sistem kontrol yang disebut atomizing control. Tujuan konfigurasi atomizing control adalah menjaga beda tekanan (pressure differential) antara atomizing steam dan fuel oil yang menuju burner agar tidak berubah, seperti diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
Blowdown Control. Blowdown system dalam boiler berguna untuk mengontrol kandungan solid dalam feedwater agar tidak berlebih. Kandungan solid dalam feedwater akan terikut ke steam yang diproduksi, sehingga apabila kandungan solid dalam feedwater tinggi, maka kandungan solid di steam juga akan tinggi, sehingga bisa menurunkan kwalitas steam yang dihasilkan. Selain itu, kandungan solid dalam feedwater yang berlebih juga akan menyebabkan terjadinya kerak/scale pada pipa/tube/drum sehingga selain peralatan tersebut cepat rusak, juga efisiensi boiler menurun karena kehadiran kerak tersebut akan mengurangi area perpindahan panas (heat transfer area).
Ada dua jenis blowdown, yaitu intermittent blowdown dan continuous blowdown. Intermittent blowdown dioperasikan secara manual oleh operator, berdasarkan hasil pengukuran kwalitas feedwater (pengukuran electrolytic conductivity dalam feedwater) atau hasil pengukuran steam purity dengan menggunakan sodium analyzer. Sedangkan continuous blowdown akan membuang air yang mengandung solid dalam drum secara terus menerus dengan besarnya aliran buangan dikontrol berdasarkan hasil pengukuran/perkiraan jumlah kandungan solid dalam feedwater di boiler drum.
Ada dua jenis sistem kontrol yang digunakan pada continuous blowdown, yaitu conductivity control dan ratio control. Dalam konfigurasi conductivity control, electrolytic conductivity feedwater diukur menggunakan conductivity meter secara online, kemudian sinyal hasil pengukuran ini dikirim ke controller (AC) untuk menggerakan control valve, seperti pada gambar berikut. Semakin tinggi electrolytic conductivity hasil pengukuran conductivity meter, semakin besar bukaan control valve continuous blowdown (semakin banyak air yang dibuang/dikuras), begitu pula sebaliknya.
Continuous blowdown juga dapat dikontrol dengan menggunakan ratio control, yaitu ratio antara blowdown flow dan feedwater flow, seperti diperlihatkan pada gambar berikut. Setpoint untuk ratio control ini ditentukan/diberikan secara manual berdasarkan hasil pengukuran kwalitas feedwater (electrolytic conductivity) atau kwalitas steam (steam purity).
Steam Temperature Control. Untuk boiler yang menghasilkan steam dengan tekanan tinggi (HP steam), biasanya dilengkapi dengan Superheater – Desuperheater. Superheater berfungsi menaikan temperature steam yang dihasilkan boiler (saturated steam). Sedangkan Desuperheater digunakan untuk menstabilkan temperature steam yang keluar dari Superheater, dengan jalan menyemprotkan steam tersebut dengan water (feedwater). Untuk menjaga temperature steam selalu stabil pada berbagai beban, maka Desuperheater dilengkapi dengan temperature control, seperti gambar berikut.
Temperature steam yang keluar dari Desuperheater diukur, hasil pengukuran digunakan oleh temperature control (TC) untuk menggerakan control valve pada feedwater line yang masuk ke Desuperheater. Bila temperature steam lebih tinggi dari setpoint, control valve membuka untuk menaikan aliran feedwater yang masuk ke Desuperheater, sebaliknya jika temperature steam lebih rendah dari setpoint-nya maka control valve akan menutup.
Perlu diketahui bahwa, dalam prakteknya belum tentu semua jenis kontrol yang dibahas diatas digunakan, karena penggunaan jenis kontrol tersebut bergantung pada kebutuhan. Sehingga sering kita temukan suatu boiler memiliki sistem kontrol yang lebih lengkap dibandingkan dengan boiler lainnya, seperti dua contoh berikut ini.
Ditulis dalam Process Equipment Control | 23 Komentar »
Process Equipment Control : (3) Centrifugal Pump Control
Ditulis oleh asro di/pada 11 Januari 2009
Peralatan lainnya yang juga banyak digunakan dalam industri proses adalah pompa (pump). Jika compressor digunakan untuk menangani gas (gas handling), maka pompa digunakan untuk menangani fluida yang berbentuk liquid/cairan. Seperti diperlihatkan pada gambar berikut ini, liquid dari titik A hendak dipindahkan ke titik C. Untuk melakukan ini, sebuah pompa digunakan untuk menaikan tekanan/pressure liquid dari P1 ke P2, sehingga liquid tersebut bisa mengalir ke titik C. Tekanan di titik C, P3 <>
Sebagaimana peralatan proses lainnya, maka operasi pompa juga perlu dikontrol sehingga kondisi operasi yang diinginkan oleh unit proses yang dilayaninya selalu terpenuhi.
Ada 3 jenis pompa yang biasa digunakan, yaitu centrifugal pump, rotary pump dan reciprocating pump. Tulisan ini membahas sistem kontrol untuk pompa centrifugal, sedangkan sistem kontrol untuk kedua jenis pompa lainnya akan dibahas pada lain kesempatan.
Prinsip Operasi Pompa. Prinsip kerja pompa mirip dengan compressor sehingga pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan sistem kontrol pompa juga hampir sama dengan pada compressor, yaitu dimulai dengan uraian dasar yang berkaitan dengan operasi pompa centrifugal, antara lain menyangkut performance curve, system curve, operating point dan kavitasi.
Pompa centrifugal merupakan peralatan yang mengkonversi energi yang diberikan oleh penggeraknya (prime mover, seperti motor atau turbine), mula-mula menjadi energi kinetik dalam bentuk velocity dan kemudian menjadi energi tekanan dari fluida yang dipompakan. Proses konversi energi ini dilakukan oleh kedua komponen utama pompa, yaitu impeller yang merupakan komponen rotating yang mengkonversi energi penggerak menjadi energi kinetik dan diffuser yang merupakan komponen stationery yang mengkonversi energi kinetik menjadi pressure.
Berikut adalah persamaan kerja pompa centrifugal.
Pump performance curve. Kinerja kerja sebuah pompa dapat dilihat dari performance curve yang merupakan curva antara flow capacity dan head. Berikut adalah contoh performance curve dari sebuah pompa dengan diameter impeller tertentu untuk beberapa speed.
System curve. Bila liquid dengan tekanan/pressure tertentu dialirkan melalui suatu sistem pemipaan (yang terdiri dari pipa, valve, elbow, reducer serta komponen sistem pemipaan lainnya), akan terjadi kehilangan tekanan (pressure drop) sepanjang sistem pemipaan tersebut. Apabila kita plot kurva antara pressure drop vs flow, maka akan terbentuk kurva seperti terlihat pada gambar berikut. Kurva tersebut disebut system curve. Pada kurva ini, pressure drop terdiri dari 2 komponen, yaitu static pressure antara dua titik sebagai titik acuan dan dynamic pressure drop sebagai akibat dari adanya friksi aliran sepanjang sistem pemipaan antara kedua titik acuan tersebut. Static pressure bernilai tetap dan tidak bergantung pada aliran/flow yang melalui system, sebaliknya dynamic pressure drop berbanding lurus dengan kwadrat kecepatan alir/flowrate.
System curve tidak bergantung pada sumber atau peralatan yang menyupply liquid seperti pompa, jadi meskipun terjadi perubahan pada peralatan supply liquid tersebut, system curve tidak berubah. System curve akan berubah jika terjadi perubahan pada system, misalnya perubahan ukuran pipa atau membuka atau menutupnya valve. Seperti terlihat pada gambar di atas, jika valve membuka (friksi system berkurang) maka flow akan bertambah dan pressure drop berkurang, system curve akan bergeser ke kanan (curve b). Sebaliknya jika valve menutup (friksi bertambah), maka system curve akan bergeser ke kiri (curve c).
Pump operating point. Ketika pompa dikoneksikan ke system, titik operasi (operating point) dari pompa tersebut dapat diperoleh dengan meletakan system curve dan pump performance curve dalam suatu kurva. Titik perpotongan antara kedua kurva tersebut merupakan titik operasi dari pompa, seperti terlihat pada gambar berikut.
Besarnya flow dan pressure yang diberikan/dihasilkan oleh pompa bisa dibaca pada titik perpotongan tersebut. Titik operasi dapat digeser/diubah dengan cara mengubah system curve (dari titik a ke titik b) atau mengubah performance curve (dari titik a ke titik c). Prinsip inilah yang mendasari cara kerja sistem kontrol pompa yaitu menjaga titik operasi di lokasi tertentu pada curve.
Kavitasi. Pompa hanya digunakan untuk menangani fluida yang berbentuk liquid/cairan. Jika fluida yang dipompa sebagian berbentuk/atau berubah bentuk menjadi vapor, maka kerja pompa menjadi tidak efektif, bahkan bisa merusak. Pada saat liquid yang masuk ke impeler dipercepat flow-nya, tekanannya akan turun. Jika penurunan tekanan tersebut melewati vapor pressure maka sebagian liquid akan berubah menjadi vapor. Selanjutnya saat melewati diffuser flow akan diperlambat dan tekanannya akan naik sehingga gelembung vapor yang terjadi sebelumnya akan koleps dan berubah menjadi liquid kembali. Proses perubahan dari liquid menjadi vapor dan kembali lagi menjadi liquid ini disebut kavitasi. Perubahan kembali (koleps-nya) gelembung vapor menjadi liquid terjadi pada kecepatan alir yang sangat tinggi, apabila ia menyentuh lapisan/permukaan material padat/metal maka akan terjadi erosi yang sangat ekstrim. Jadi, kavitasi ini sifatnya merusak sehingga harus dicegah, yaitu dengan cara menjaga pressure/tekanan suction pompa agar cukup tinggi.
Pump Control. Sama seperti pada pembahasan dalam serie sebelumnya, dalam pembahasan mengenai pump control ini juga terdapat dua issue penting, yaitu penentuan controlled variable dan manipulated variable.
Untuk issue pertama, yang menjadi controlled variable bisa flow/kapasitas, level atau pressure (upstream atau downstream) bergantung kebutuhan proses/operasi. Dari ketiga variable ini, yang paling banyak digunakan adalah flow. Jika yang digunakan adalah level (biasanya level inlet/outlet vessel), maka output controller bisa langsung menggerakan control valve atau bisa juga melalui flow control (konfigurasi cascade).
Issue kedua yaitu manipulated variable, secara teoritis terdapat empat opsi, yaitu suction flow/pressure melalui suction throttling, discharge flow/pressure melalui discharge throttling, recycle flow melalui recycle throttling dan variable speed.
Suction throttling. Suction throttling, yaitu dengan menempatkan control valve di suction/inlet pompa. Secara teoritis ini akan mengubah performance curve, akan tetapi cara ini sangat fatal karena dapat memicu terjadinya kavitasi, sehingga cara ini tidak pernah digunakan.
Discharge throttling. Dengan discharge throttling berarti mengubah system curve, seperti diperlihatkan pada gambar berikut. Misalnya pada suatu saat, pompa beroperasi pata titik (1), yaitu pada flow Q1 dan pressure P1. Kemudian dikehendaki, flow nerkurang menjadi Q2, sehingga titik operasi digeser ke titik (2), yaitu pada flow Q2 dan pressure P2. Ini dilakukan dengan menutup sedikit discharge control valve (menutup control valve berarti menggeser/memutar system curve ke kiri). Perhatikan gambar tersebut, P2 adalah pressure pada keluaran/discharge pompa sebelum control valve, sedangkan pressure sesudah control valve sebesar P3, sehingga pressure yang hilang (drop) di control valve sebesar P2-P3.
Recycle control. Dalam konfigurasi kontrol ini, sebagian liquid di discharge dikembalikan ke suction, seperti diperlihatkan pada gambar berikut. Recycle control ini berguna untuk mencegah terjadinya kavitasi karena kekurangan flow/pressure pada suction pompa.
Sama dengan pada discharge throttling, prinsip dari recycle control adalah juga merubah/menggeser system curve. Seperti diperlihatkan pada gambar berikut, misalnya pada suatu saat, pompa beroperasi pada titik (1), yaitu pada flow Q1 dan pressure P1. Kemudian karena suatu dan lain hal, level vessel turun sehingga flow yang masuk ke pompa (suction flow) juga turun di bawah setpoint FC. Sebagai reaksi dari penurunan suction flow ini, FC akan membuka recycle control valve sehingga titik operasi pompa bergeser ke titik (2), yaitu pada flow Q2 dan pressure P2. Perhatikan gambar tersebut, Q2 adalah discharge flow sebelum recycle tie, sedangkan flow sesudah recycle tie yang masuk ke system adalah Q3, sedangkan recycle flow adalah sebesar Q2-Q3. Bagian bawah curve 2 yang agak berbeda menggambarkan flow yang melalui recycle valve sebelum check valve membuka.
Speed control. Cara lain untuk menyesuaikan pompa dengan system yang dilayaninya adalah melalui speed control, yang berarti dengan merubah/menggeser performance curve, seperti gambar berikut.
Misalnya pada suatu saat, pompa beroperasi pada titik (1), yaitu pada flow Q1 dan pressure P1. Selanjutnya andaikan discharge flow hendak diubah dari Q1 ke Q2, maka yang dilakukan adalah hanya dengan mengurangi speed pompa, sehingga titik operasi bergeser ke titik (2), yaitu pada flow Q2 dan pressure P2.
On-off control. Selain konfigurasi kontrol yang sudah dibahas di atas, jenis kontrol lain yang juga banyak digunakan adalah on-off control. Jenis kontrol ini digunakan apabila tidak dibutuhkan kontrol yang presisi. Salah satu contohnya adalah system control sump-pump seperti pada gambar berikut. LSL switch akan membuka/off jika level berada di bawah setpoint.
Apabila dikehendaki agar level selalu berada dalam rentang atas (high level/on) dan bawah (low level/off), maka konfigurasi berikut dapat digunakan. Dalam konfigurasi ini, operator bisa menjalankan (start) dan menghentikan (stop) pompa apabila level vessel berada pada rentang atas dan bawah sesuai setting. Operator tidak dapat menghentikan pompa apabila level vessel melebihi batas atas (high level), begitu pula sebaliknya ia tidak dapat menjalankan pompa apabila level vessel kurang dari batas bawah (low level).
Ditulis dalam Process Equipment Control | 4 Komentar »
Process Equipment Control : (2) Centrifugal Compressor Control
Ditulis oleh asro di/pada 5 Desember 2008
Dalam industri proses, compressor banyak digunakan untuk menangani gas (gas handling) yaitu dengan jalan menaikan tekanan gas. Seperti diperlihatkan pada gambar berikut ini, gas dari titik A hendak dipindahkan ke titik C. Untuk melakukan ini, sebuah compressor digunakan untuk menaikan tekanan gas dari P1 ke P2 , sehingga gas bisa mengalir ke titik C. Tekanan di titik C, P3 <>2 karena ada tekanan yang hilang di perjalanan (pada pipa).
Sebagaimana peralatan proses lainnya, maka operasi compressor juga perlu dikontrol sehingga kondisi operasi yang diinginkan oleh unit proses yang dilayaninya selalu terpenuhi.
Ada 3 jenis compressor yang biasa digunakan, yaitu Centrifugal Compressor, Rotary Compressor dan Reciprocating Compressor. Tulisan ini membahas sistem kontrol untuk centrifugal compressor, sedangkan sistem kontrol untuk kedua jenis compressor lainnya akan dibahas pada lain kesempatan.
Prinsip Operasi Compressor. Sebelum membahas metoda control yang digunakan dalam centrifugal compressor, terlebih dahulu akan diuaraikan beberapa hal dasar yang berkaitan dengan operasi centrifugal compressor, yaitu compressor performance curve, surge phenomena, system curve dan compressor operating point.
Centrifugal compressor merupakan peralatan yang mengkonversi momentum gas menjadi head (pressure). Berikut adalah persamaan kerja centrifugal compressor.
Compressor Performance Curve. Apabila compressor dioperasikan pada w, TI, R, n, t dan Z yang constant, maka kurva PD terhadap W untuk beberapa nilai PI dapat digambarkan sbb:
Sedangkan bila w berubah-ubah, maka kurva-nya dapat digambarkan sbb:
Surge Phenomena. Seperti terlihat pada kedua kurva diatas, terdapat garis yang berbentuk parabolik disebelah kiri kurva, yang disebut surge line. Apabila compressor beroperasi pada aliran rendah sehingga melewati surge line kekiri, maka operasi compressor akan menjadi tidak stabil dan terjadi aliran bolak-balik yang akan menyebabkan vibrasi dan kerusakan. Kondisi ini disebut surging. Untuk menghindari surging, compressor harus dioperasikan pada flow yang lebih besar dari surge line, jadi titik operasi compressor harus berada disebelah kanan surge line.
System Curve. Bila gas dengan tekanan/pressure tertentu dialirkan melalui suatu sistem pemipaan (yang terdiri dari pipa, valve, elbow, reducer serta komponen sistem pemipaan lainnya), akan terjadi kehilangan tekanan (pressure drop) sepanjang sistem pemipaan tersebut. Apabila kita plot kurva antara pressure drop vs flow, maka akan terbentuk kurva seperti terlihat pada gambar berikut. Kurva tersebut disebut system curve. Pada curve ini, pressure drop terdiri dari 2 komponen, yaitu static pressure antara dua titik sebagai titik acuan dan dynamic pressure drop sebagai akibat dari adanya friksi aliran sepanjang sistem pemipaan antara kedua titik acuan tersebut. Static pressure bernilai tetap dan tidak bergantung pada aliran/flow yang melalui system, sebaliknya dynamic pressure drop berbanding lurus dengan kwadrat kecepatan alir (flowrate).
System curve tidak bergantung pada sumber atau peralatan yang menyupply gas (compressor), jadi meskipun terjadi perubahan pada peralatan supply gas tersebut, system curve tidak berubah. System curve akan berubah jika terjadi perubahan pada system, misalnya perubahan ukuran pipa atau membuka atau menutupnya valve. Seperti terlihat pada gambar diatas, jika valve membuka (friksi sistem berkurang), maka flow akan bertambah dan pressure drop berkurang, system curve akan bergeser ke kanan (curve b). Sebaliknya jika valve menutup (friksi bertambah), maka system curve akan bergeser ke kiri (curve c).
Compressor Operating Point. Ketika compressor dikoneksikan dengan system, titik operasi (operating point) dari compressor tersebut dapat diperoleh dengan meletakan system curve dan compressor performance curve dalam suatu curve. Titik perpotongan antara kedua curve tersebut merupakan titik operasi dari compressor, seperti terlihat pada gambar berikut.
Besarnya flow dan pressure yang diberikan/dihasilkan oleh compressor bisa dibaca pada titik perpotongan tersebut. Titik operasi dapat digeser/diubah dengan cara mengubah system curve (dari titik a ke titik b) atau mengubah performance curve (dari titik a ke titik c). Prinsip inilah yang mendasari cara kerja compressor control yaitu menjaga titik operasi di lokasi tertentu pada curve.
Compressor Control Type. Ada beberapa jenis sistem kontrol compressor centrifugal, yaitu 1) Performance Control, 2) Antisurge Control, dan 3) Load Sharing Control.
Performance Control. Sama seperti pada HE control yang dibahas pada serie sebelumnya, dalam pembahasan mengenai performance control juga terdapat dua issue penting, yaitu penentuan controlled variable dan manipulated variable. Untuk issue pertama, yang menjadi controlled variable dalam performance control bisa flow/kapasitas, discharge pressure atau inlet/suction pressure, bergantung pada pertimbangan operasi. Sedangkan issue kedua, yaitu manipulated variable juga terdiri dari beberapa opsi, yaitu suction flow/pressure melalui suction throttling, suction flow/pressure melalui inlet guide vane, discharge flow/pressure melalui discharge throttling dan variable speed. Gambar berikut menunjukan beberapa konfigurasi performance control dengan flow/kapasitas sebagai control variable.
Suction throttling. Kapasitas compressor dapat dikontrol dengan memanipulasi inlet pressure PI, yaitu dengan jalan menempatkan control valve di suction (suction throttling). Untuk menjelaskan operasi compressor pada konfigurasi ini, perhatikan constant speed curve pada gambar dibawah ini. Andaikan pada awalnya compressor beroperasi pada titik (1), yang merupakan perpotongan antara performance curve I dan system curve A, yaitu pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Selanjutnya diinginkan flow berkurang menjadi 5,600 lbm/hr. Dengan suction throttling (mengubah inlet pressure PI), berarti mengubah performance curve, dengan system curve-nya tetap. Jadi titik operasi baru tersebut terletak pada system curve lama A dan performance curve baru (katakan curve III), dengan flow sebesar 5,600 lbm/hr dan discharge pressure sebesar 70 psia, titik (3). Jika performance curve I tidak berubah, flow sebesar 5,900 lbm/hr terletak pada titik (4), dengan discharge pressure sebesar 190 psia. Untuk mengubah/menggeser titik dengan flow sebesar 5,900 lbm/hr di performance curve I (titik 4) ke performance curve III (titik 3), kita harus mengurangi discharge pressure sebesar 190 psia – 70 psia = 120 psi. Jika compressor pressure ratio sebesar 10, maka untuk mengurangi discharge pressure ini diperlukan pengurangan inlet pressure sebesar 120/10 = 12 psi, yang dilakukan dengan menutup suction control valve.
Discharge throttling. Kapasitas compressor dapat juga dikontrol dengan menempatkan control valve di discharge. Dengan discharge throttling berarti yang diubah adalah system curve, sedangkan performance curvenya tetap. Untuk menjelaskan prinsip kerjanya perhatikan kembali constant speed curve pada gambar diatas. Mula-mula compressor beroperasi pada titik (1) yang merupakan perpotongan antara performance curve I dan system curve A, yaitu pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Selanjutnya dikehendaki flow berkurang menjadi 5,900 lbm/hr. Pada performance curve I, flow sebesar 5,900 lbm/hr, terletak pada titik (4) yang merupakan perpotongan dengan system curve C, dengan discharge pressure sebesar 190 psia. Jika system curve tidak berubah, maka flow sebesar 5,900 lbm/hr ini di system curve A terletak pada titik (3), pada pressure 70 psia. Untuk mengubah/menggeser titik (3) pada curve A ke titik (4) pada curve C perlu pengurangan pressure sebesar 190-70=120 psi, yang diperoleh dengan menutup discharge control valve.
Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana jika titik operasi compressor bergeser dari titik (1) ke titik (2). Titik (1) merupakan perpotongan antara performance curve I dan system curve A, yaitu pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Sedangkan titik (2) merupakan perpotongan antara performance curve II dan system curve B, yaitu pada flow 5,900 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Karena titik operasi baru terletak pada performance curve dan system curve baru, yang berbeda dengan sebelumnya, maka pergeseran ini hanya bisa dilakukan dengan jalan suction throttling (merubah performance curve) dan discharge throttling (mengubah system curve) sekaligus. Kita mulai dengan melihat perubahan system curve A ke B. Flow sebesar 5,900 lbm/hr pada curve A terletak di titik (3) pada discharge pressure 70 psia, sedangkan flow yang sama pada curve B terletak pada titik (2) pada pressure 140 psia, jadi harus ada pengurangan discharge pressure sebesar 140-70=70 psi, yaitu dengan menutup discharge control valve. Selanjutnya mari kita lihat perubahan performance curve I ke II. Flow sebesar 5,900 lbm/hr pada curve I terletak di titik (4) yaitu pada pressure 190 psia, sedangkan pada curve II terletak di titik (2) pada pressure 140 psia, jadi harus ada pengurangan discharge pressure 190-140=50 psi. Jika compressor pressure ratio sebesar 10, maka untuk pengurangan discharge pressure ini diperlukan pengurangan inlet pressure sebesar 50/10=5 psia, ini dilakukan dengan menutup suction control valve.
Inlet Guide Vane. Dalam metode ini, inlet pressure/flow diubah-ubah dengan mengatur guide vane yang terletak pada inlet compressor. Jadi prinsip kerjanya sama dengan inlet throttling, yaitu mengubah performance curve. Keuntungan guide vane dibandingkan dengan inlet throttling adalah lebih efisien karena pressure loss yang terjadi sangat kecil. Akan tetapi, kekurangannya adalah lebih kompleks dan harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan control valve.
Variable Speed. Kapasitas control juga dapat dilakukan dengan mengubah-ubah speed compressor. Untuk lebih jelasnya perhatikan kurva variable speed berikut.
Andaikan kita mau mengubah titik operasi compressor dari (1) pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia ke (2) pada flow 6,700 lbm/hr dan discharge pressure 80 psia, maka yang dilakukan adalah hanya dengan mengurangi speed compressor dari 100% menjadi 70%. Jika hal ini dilakukan dengan suction throttling, maka inlet pressure harus dikurangi (140-80)/10=6 psi, yang merupakan kehilangan pressure (losses) di inlet control valve. Ini sangat bertolak belakang dengan variable speed, dimana pengurangan speed ke 70% berarti daya yang diperlukan juga berkurang. Hal inilah yang merupakan keuntungan dari variable speed control dibandingkan dengan suction throttling, yaitu lebih efisien.
Antisurge Control. Antisurge control berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi surging pada compressor yang sedang beroperasi, yaitu dengan jalan menjaga titik operasinya agar selalu berada di sebelah kanan surge line. Terdapat banyak konfigurasi antisurge control, sebagian akan dibahas di sini.
Fixed Setpoint Antisurge Control. Untuk menjaga agar titik operasi compressor selalu berada di sebelah kanan surge line, yang berarti juga menjaga agara discharge flow selalu lebih besar dari surge flowrate, dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian flow dari discharge ke suction/inlet compressor, seperti terlihat pada gambar berikut.
Sesuai dengan namanya, maka pada konfigurasi ini, setpoint untuk antisurge controller (FC) dibuat fixed/tidak berubah. Biasanya nilai setpoint tersebut diambil cukup besar sehingga aman untuk semua kondisi operasi. Sebagai contoh perhatikan performance curve berikut ini.
Misalnya titik operasi compressor berada pada titik (1) yang merupakan perpotongan antara performance curve I dan system curve A, yaitu pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Andaikan setpoint antisurge control (FC) adalah 5,700 lb/hr. Apabila karena sesuatu hal, flow yang berasal dari hulu compressor berkurang, yang berarti suction pressure turun, maka performance curve akan bergeser ke bawah, discharge pressure turun. Untuk mempertahankan discharge pressure, performance control (PC) akan menutup discharge control valve, system curve akan bergeser ke atas. Jika suction flow berkurang hingga 5,700 lbm/hr, maka titik operasi baru akan bergeser ke titik (2) yang merupakan perpotongan antara performance curve II dan system curve B, yaitu pada flow 5,700 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Jika flow dari hulu terus turun, maka antisurge valve akan mulai membuka, sehingga sebagian discharge flow akan dikembalikan ke suction. Dengan cara ini flow yang masuk ke compressor akan dijaga pada 5,700 lbm/hr, sehingga tidak terjadi surging, walaupun mungkin flow yang dari hulu sudah berada di bawah surge line.
Variable Setpoint Antisurge Control. Konfigurasi fixed setpoint antisurge control di atas mempunyai banyak kelemahan, diantaranya tidak efisien karena untuk menjaga agar kondisi tetap aman pada semua kondisi operasi, maka setpoint untuk antisurge control harus diambil cukup besar sehingga akan banyak gas (flow) yang dikembalikan ke suction. Untuk meningkatkan efisiensi, bisa saja setpoint controller diambil tidak terlalu besar/tidak terlalu jauh dari surge line sehingga tidak banyak gas dikembalikan ke suction, akan tetapi ini bisa mendatangkan risiko, yaitu apabila terjadi perubahan kondisi operasi yang menyebabkan surge line bergesar ke kanan, maka bisa jadi setpoint tersebut sudah masuk ke daerah surging. Untuk mengatasinya, maka setpoint antisurge controller dibuat tidak fixed, tetapi berubah-ubah sesuai kondisi operasi saat itu.
Surge curve dapat dihitung (diperkirakan) dengan persamaan (PD – PI) – K1Q2(PI/TI), dengan Q adalah volume flowrate dan KI merupakan konstanta. Karena head loss (differential pressure) pada orifice h = K2Q2(PI/TI) maka dapat diperoleh persamaan untuk surge curve (PD – PI) = K3h . Titik operasi aman berada pada kondisi (PD – PI) <>3h , jadi antisurge control dapat dilakukan dengan menjaga kondisi ini, seperti pada gambar berikut.
Nilai b adalah safety margin yang merupakan jarak antara surge point dan setpoint. Dengan konfigurasi ini, setpoint antisurge control tidak fix, melainkan bergantung pada kondisi operasi. Jika surge pointnya bergerak ke kiri, maka setpointnya juga ikut bergerak ke kiri dengan jarak tetap sebesar b, dengan cara ini energy loss akibat kebanyakan flow yang dikembalikan ke suction dapat dihindari. Karena control dalam konfigurasi ini bersifat discontinuous, maka controller yang digunakan harus dilengkapi dengan anti reset windup.
Trisen Antisurge Control. Pada kedua tipe antisurge control sebelumnya, dapat dilihat bahwa pencegahan surging dilakukan dengan mengembalikan sebagian discharge flow ke suction, pada hal mengembalikan flow ke suction sama saja dengan membuang-buang energi. Karena itu, issue yang paling penting dalam antisurge control adalah bagaimana merancang konfigurasi antisurge control sedemikian sehingga energi yang terbuang tersebut bisa diminimumkan sambil tetap menjaga agar tidak terjadi surging. Hal inilah yang juga mendasari perancangan Trisen Antisurge Control.
Secara garis besar, beberapa fitur yang dimiliki oleh Trisen Antisurge Control adalah: 1) Tersedia dua jenis performance curve sebagai basis algoritma, yaitu (PD/DI) vs (h/PI) dan (PD-PI) vs h. 2) Berdasarkan control line dengan safety margin berubah secara otomatis jika terjadi surging. 3) Dilengkapi dengan setpoint hover function yang mengembalikan titik operasi mendekati control line. 4) Tersedia algoritma dengan dynamic adaptive gain. 5) Dilengkapi proportion only function yang akan membuka antisurge valve tanpa dipengaruhi oleh normal antisurge control. 6) Dilengkapi valve linearization function.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa surging line pada curve dibuat dengan asumsi kondisi suction maupun gas properties konstan, pada hal pada kondisi aktual tidak demikian, sehingga bisa saja terjadi pada saat operasi, surging line akan bergeser ke kanan atau ke kiri, yang menyebabkan surging terjadi diluar prediksi controller. Untuk mengatasi permasalahan ini, dalam Trisen control, performance curve tidak diplot dengan basis PD vs V tetapi menggunakan basis Rc (PD/PI) vs hc (h/PI) (h adalah orifice differential pressure), yang disebut sebagai pressure ratio methode. Pada curve baru ini, surge line tidak berubah, walaupun terjadi perubahan pada kondisi suction maupun gas properties. Oleh karena itu, curve ini disebut juga dengan universal surge line. Atau pada kondisi dimana PI relatif konstant atau surge line linear maka bisa menggunakan basis yang lebih sederhana, yaitu (PD-PI) vs h, yang disebut dengan pressure rise methode.
Seperti terlihat pada performance curve di atas, bahwa surge line tidak tegak lurus tetapi berbentuk parabolik, yang berarti bahwa surge flow berubah-ubah bergantung pada kondisi operasi saat itu. Selain itu, mengingat adanya delay baik yang berasal dari karakteristik controlnya sendiri maupun dari prosesnya, maka untuk menghindari surging, control harus sudah mulai beraksi sebelum terjadinya surging. Jadi harus ada safety margin antara surge point dan point dimana control mulai beraksi. Untuk maksud ini, didefinisikan suatu parameter yang disebut dengan control line, yaitu sebuah garis yang identik dengan surge line dan terletak di sebelah kanan surge line, yang dibuat dengan cara menambah nilai safety margin ke surge line. Setpoint untuk antisurge control akan mengikuti control line ini. Control line ini tidak tetap tetapi bisa berubah. Jika karena sesuatu sebab (misalnya transmitter rusak, surge line yang dibuat salah, safety margin yang terlalu kecil, kondisi proses yang berubah secara cepat atau karena controller tunning yang tidak benar) sehingga terjadi surging (titik operasi menyeberangi surge line ke kiri), maka safety margin secara otomatis akan bertambah sehingga dengan sendirinya control line akan bergeser ke kanan. Ini dimaksud agar surge control dapat bereaksi lebih cepat, untuk mengembalikan titik operasi ke daerah aman.
Umumnya, titik operasi compressor tidak selalu berada pada control line, terkadang dia berada jauh di debelah kanan control line. Suatu fungsi dalam Trisen Control yang disebut dengan setpoint hover function digunakan untuk mengembalikan titik operasi ke control line dengan jalan mengurangi setpoint (ramped down).
Trisen Control juga dilengkapi dengan dynamic adaptive gain. Jika titik operasi berada di sebelah kanan control line, maka control gain akan berkurang. Sebaliknya jika titik operasi bergerak mendekati control line, control gain akan bertambah dan terus bertambah jika titik operasi masih terus bergerak ke kiri mendekati surge line. Dengan cara ini, maka surge control akan meresponse dengan cepat untuk membuka antisurge control valve ketika titik operasi mendekati surge line sehingga surging bisa dihindari. Sebaliknya jika titik operasi bergerak ke kanan, antisurge control valve akan menutup secara perlahan.
Trisen Control juga dilengkapi dengan proportional only function. Dengan fungsi ini, Trisen Control akan memaksa membuka control valve tanpa menghiraukan aksi normal antisurge control. Fitur ini berfungsi pada kondisi dimana oleh karena suatu sebab (misalnya terjadi process upset) sehingga titik operasi bergeser ke kiri melewati control line, dan normal antisurge control tidak mampu mengembalikannya. Pada kondisi tersebut, fungsi ini akan memulai membuka antisurge control valve pada jarak/margin tertentu dari surge line (sesuai setting) dan mencapai bukaan penuh saat titik operasi mencapai surge line. Dengan fungsi ini, compressor bisa terhindar dari terjadinya surging.
Trisen Control juga menyediakan valve linearization function untuk control valve dengan tipe equal presentage, sehingga bisa diperoleh proses gain yang linear. Dengan cara ini, ketidak stabilan sistem yang disebabkan perubahan titik operasi dapat dihindari.
Gambar berikut ini adalah blok diagram Trisen Antisurge Control.
Sedangkan gambar berikut ini adalah salah satu contoh penggunaan Trisen Antisurge Control.
Load Sharing Control. Dalam operasinya sering kali dua atau lebih compressor digunakan secara paralel. Tujuannya bermacam-macam antara lain untuk meningkatkan kapasitas atau agar bisa digunakan dalam mode operation/standby/repair. Load sharing control berguna untuk menyeimbangkan beban kepada semua compressor yang digunakan secara paralel tersebut. Tujuannya adalah untuk mencegah jangan sampai ada compressor yang mengalami surging sementara compressor lainnya masih jauh dari surging, juga untuk meningkatkan efisiensi. Gambar berikut adalah contoh konfigurasi load sharing control.
Hardware. Selain konfigurasi/struktur kontrol yang digunakan, pemilihan perangkat keras yang akan digunakan juga akan mempengaruhi kinerja compressor control yang dibangun, terutama menyangkut response time dari perangkat keras tersebut. Compressor merupakan sistem dengan response yang sangat cepat, oleh karena itu perangkat keras yang digunakan juga harus memiliki response time yang cepat.
Control System Hardware. Hingga saat ini, jenis perangkat keras control system yang digunakan untuk aplikasi compressor control sangat bervariasi, mulai dari pneumatic control, analog electronic sampai dengan perangkat yang berbasis teknologi digital. Untuk mengimbangi response compressor yang sangat cepat, maka waktu eksekusi (execution time) control juga harus cepat, umumnya yang digunakan adalah lebih kecil dari 100 ms. Itu sebabnya, mengapa beberapa vendor menyediakan perangkat compressor control khusus dengan waktu eksekusi yang lebih cepat dibandingkan dengan perangkat control untuk pemakaian yang lebih umum.
Control Valve. Control valve yang digunakan untuk compressor control juga harus memiliki response yang cepat. Umumnya response time control valve sekitar 10 detik. Akan tetapi dengan menggunakan special stroke, response control valve bisa lebih cepat hingga dibawah 1 detik.
Transmitter. Response time transmitter juga perlu diperhatikan, terutama PD transmitter. Transmitter umunya terdiri dari moving part sehingga memiliki sifat redam (dump), hal inilah yang menyebabkan transmitter tidak bisa me-response dengan cepat. Ukuran response time transmitter adalah 63.2% response time, yaitu waktu yang diperlukan untuk mencapai 63.2% response terhadap step input. Umumnya PD transmitter memiliki response time lebih besar dari 1 detik. Akan tetapi ada transmitter dengan design khusus memiliki response time lebih kecil dari 1 detik. Transmitter jenis ini bisa digunakan untuk aplikasi compressor control.
Ditulis dalam Process Equipment Control | 8 Komentar »
Process Equipment Control : (1) Heat Exchanger Control.
Ditulis oleh asro di/pada 15 Oktober 2008
Suatu unit proses (process unit) selalu terdiri dari serangkaian peralatan process (process equipment) seperti Heat Exchanger, Pump, Compressor, Distillation Tower, Reactor, Tank, dsbnya. Membahas sistem kontrol dalam suatu unit proses sama saja dengan membahas sistem kontrol dari peralatan-peralatan proses tersebut. Tulisan ini merupakan sebuah tulisan berseri mengenai sistem kontrol pada peralatan proses, yang diawali dengan sistem kontrol pada Heat Exchanger.
Heat Exchanger (HE) merupakan peralatan yang banyak digunakan dalam industri proses (process industry) yang berfungsi menukarkan/mengalirkan panas dari suatu fluida ke fluida lainnya. HE yang dibahas dalam tulisan ini adalah dari tipe Shell and Tube. Secara sederhana, prinsip kerja HE adalah sbb: dua fluida yang berbeda temperature, yang satu dialirkan dalam tube dan yang lainnya dalam shell hingga bersentuhan secara tidak langsung, sehingga panas dari fluida yang temperaturenya lebih tinggi berpindah ke fluida yang temperaturenya lebih rendah. Hasil dari proses ini adalah fluida panas yang masuk akan menjadi lebih dingin dan fluida dingin yang masuk akan menjadi lebih panas.
Dalam membahas sistem kontrol di HE, ada dua hal yang menjadi issue penting, yaitu penentuan controlled variable (variable yang akan dikontrol) dan manipulated variable (variable yang akan diubah-ubah dalam rangka menjaga controlled variable pada setpoint-nya). Berdasarkan prinsip kerja/fungsi HE, maka yang paling efektif adalah mengambil fluksi panas (jumlah panas yang berpindah antara kedua fluida) sebagai controlled variable, akan tetapi ini tidak mungkin dilakukan mengingat dalam prakteknya fluksi panas (heat flux) tersebut sulit diukur. Oleh karena itu yang paling mungkin adalah dengan mengontrol temperature salah satu fluida yang keluar dari HE. Untuk issue kedua, penentuan manipulated; ada beberapa variable yang bisa dipilih sebagai manipulated variable, yaitu aliran fluida panas yang masuk, aliran fluida dingin yang masuk, aliran fluida panas yang keluar atau aliran fluida dingin yang keluar. Masing-masing alternative pilihan ini memiliki kelebihan dan kekurangan, yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Terdapat banyak jenis HE, diantaranya yang akan dibahas disini adalah: liquid-to-liquid exchanger dan steam heater.
Liquid-to-Liquid Exchanger. Yang dimaksud dengan liquid-to-liquid exchanger adalah jenis HE dimana kedua fluida berbentuk cair (liquid phase). Sebenarnya HE memiliki dua fungsi yang bersamaan, yaitu memanaskan fluida dingin yang masuk sekaligus mendinginkan fluida panas yang masuk. Akan tetapi dari sisi sistem control (juga proses) kita harus menentukan mana dari kedua fungsi tersebut yang paling penting, karena seperti dijelaskan diatas, hanya ada satu controlled variable, apakah itu temperature fluida yang dipanaskan atau temperature fluida yang didinginkan, tidak bisa dua-duanya. Jika tujuan utama kita adalah memanaskan fluida maka yang akan dikontrol adalah temperature fluida yang dipanaskan (hasil pemanasan), HE jenis ini disebut juga dengan Heater. Sebaliknya jika tujuan utama kita adalah mendinginkan fluida, maka yang akan dikontrol adalah temperature fluida yang didinginkan, HE jenis ini disebut juga dengan Cooler. Untuk membedakan fluida mana yang akan dikontrol dan mana yang digunakan sebagai pemanas atau pendingin, maka untuk selanjutnya, fluida yang dikontrol disebut sebagai process fluida, sedangkan fluida yang kedua disebut sebagai medium fluida.
Terdapat beberapa jenis konfigurasi control yang biasa digunakan, selanjutnya akan dibahas beberapa diantaranya. Gambar berikut adalah HE control dengan aliran process fluida sebagai manipulated variable.
Dalam gambar diatas terlihat pengontrolan temperature process fluida dilakukan dengan mengubah-ubah aliran process fluida yang keluar dari HE dan yang di-bypass. Dalam konfigurasi ini, aksi kontrol bisa berupa split-range atau opposite action. Dalam konfigurasi split-range, sinyal kontrol 0% – 50% digunakan untuk menutup control valve keluaran HE (CV1) dan 50% – 100% untuk membuka control valve bypass (CV2). Dalam konfigurasi opposite action, jika salah satu control valve membuka, maka control valve lainnya akan menutup atau sebaliknya. Dalam konfigurasi opposite action, selain menggunakan dua buah two-way control valve seperti pada gambar diatas, bisa juga menggunakan three-way diverter valve (yang diletakan pada inlet HE) atau three-way mixing valve (yang diletakan pada outlet HE).
Umumnya konfigurasi seperti ini hanya untuk HE yang berfungsi sebagai Cooler seperti pada gambar diatas. Jika konfigurasi ini diterapkan pada Heater, maka akan timbul masalah yaitu kemungkinan terjadinya kerak/coke pada HE akibat temperature process yang tinggi menyamai temperature medium yang masuk. Penjelasannya adalah sbb: Pada konfigurasi diatas, pada suatu saat bisa saja terjadi control valve CV1 menutup penuh, yang berarti tidak ada aliran process yang keluar dari HE atau dengan kata lain ada sebagian process fluida yang tertahan dalam HE. Untuk HE yang berfungsi sebagai Heater, pada kondisi ini temperature fluida dalam HE akan meningkat mendekati temperatur medium, yang bisa menyebabkan terjadinya kerak/coke dalam HE.
Untuk mengatasi permasalahan diatas, maka untuk aplikasi Heater, yang digunakan sebagai manipulated variable adalah medium flow, seperti diperlihatkan pada gambar berikut.
Pada konfigurasi ini, control valve ditempatkan di outlet HE bukan pada inlet. Pertimbangannya adalah jika ditempatkan di inlet dengan temperature medium yang masih tinggi, maka pressure drop pada valve dapat menyebabkan terjadinya gas yang bisa menurunkan performance HE. Pertimbangan lainnya adalah harga valve yang digunakan lebih murah dan lebih awet karena service temperature-nya yang rendah.
Sangat jarang konfigurasi medium sebagai manipulated variable ini digunakan dalam Cooler, terutama jika mediumnya adalah air (cooling water). Hal ini dikarenakan umumnya cooling water bersifat corrosive dan tidak terlalu bersih sehingga tidak bijak jika menempatkan control valve disitu. Akan tetapi, jika memang harus digunakan terutama jika mediumnya bukan cooling water, maka control valve agar ditempatkan di outlet untuk menghindari terjadinya gas dalam HE yang dapat menurunkan kinerja HE.
Konfigurasi bypass seperti pada contoh pertama diatas, juga cocok untuk Cross Exchanger, dimana kedua fluida (process maupun medium) merupakan suatu process stream, seperti HE yang digunakan pada feed-product suatu tower distilasi. Pada HE jenis ini, flow kedua fluida tidak boleh dimanipulasi (diubah-ubah flownya) karena akan mengganggu process distilasi.
Untuk beberapa aplikasi, HE tidak perlu dikontrol agar perpindahan panas dapat berlangsung maksimal. Sebagai contoh pada aplikasi yang menggunakan rangkaian HE. Pada aplikasi ini, umumnya yang dikontrol adalah HE yang terakhir karena untuk menjaga temperature pada nilai yang dibutuhkan oleh process berikutnya, sedangkan HE-HE sebelumnya tidak dikontrol.
Steam Heater. Steam heater merupakan HE jenis heater dengan steam/uap air sebagai media pemanasnya. Sama seperti pada liquid-to-liquid exchanger, kontrol pada steam heater juga dapat dilakukan dengan mengambil medium flow atau process flow sebagai menipulated variable.
Gambar berikut adalah konfigurasi control dengan medium flow sebagai manipulated variable dimana control valve diletakan pada inlet medium (steam line).
Pada kondisi beban tinggi, konfigurasi control ini dapat memberikan kinerja yang cukup baik. Akan tetapi pada beban rendah, kinerja konfigurasi control ini kurang memuaskan, penjelasannya adalah sbb: Pada beban rendah, flow/tekanan steam yang masuk heater rendah sehingga tekanan condensate yang terjadi dalam heater juga rendah yaitu berada dibawah tekanan atmosfir. Keadaan ini menyebabkan condenste yang terjadi tersebut tidak bisa langsung dibuang oleh steam trap. Akibatnya akan terjadi akumulasi condensate dalam heater hingga tekanannya mencapai tekanan kerja steam treap. Proses akumulasi condensate dalam heater ini menyebabkan heat tranfer area yang awalnya besar, semakin lama semakin kecil seiring dengan terakumulasinya condensate. Pada saat pressure condensate mencapai tekanan kerja steam trap, semua condensate dalam heater serta merta akan dibuang keluar sehingga heat transfer area heater kembali seperti semula. Dari prespektif control, kejadian ini mencerminkan dinamika sistem kerja heater yang berubah-ubah sehingga sulit untuk dikontrol. Untuk mengatasi permasalahan ini, konfigurasi kontrol ini dilengkapi dengan condensate lifting/pumping trap, yang dapat membuang condensate walaupun tekanannya masih dibawah atmosfir.
Selanjutnya mari kita lihat bagaimana jika control valve diletakan di condensate line. Ketika beban berkurang, posisi bukaan control valve hampir menutup penuh hingga akumulasi condensate dalam heater mencepai level tertentu dimana pengurangan heat tranfer area sudah sesuai dengan beban. Pada arah perubahan beban ini (arah beban berkurang), process dynamic sangat lamban karena menunggu akumulasi condensate di heater. Sebaliknya ketika beban bertambah, process dynamic sangat cepat karena hanya sedikit perubahan bukaan control valve, sudah banyak condensate yang terbuang. Dari sisi control, process dynamic seperti ini sangat sulit untuk dikontrol. Oleh karena itu, penempatan control valve di condensate line tidak direkomendasikan.
Salah satu konfigurasi control yang digunakan untuk mengatasi permasalahan low condensate pressure adalah dengan menggunakan condensate level control seperti gambar berikut.
Setpoint untuk level control dapat diubah-ubah untuk disesuaikan dengan beban, pada beban rendah, setpoint level control diset tinggi, begitu pula sebaliknya. kelemahan dari konfigurasi control ini adalah harganya yang mahal. Untuk mengatasinya, level control dapat diganti dengan continuous drain trap, yang fungisnya sama dengan level control tetapi harganya jauh lebih murah.
Bagaimana dengan konfigurasi control yang menggunakan process flow sebagai manipulated variable? Konfigurasi yang sudah dibicarakan sebelumnya pada liquid-to-liquid exchanger berlaku juga untuk steam heater. Gambar berikut adalah process bypass control yang menggunakan Diverter Valve.
HE Enhanced Control. Apabila gangguan (distrubance) sering terjadi dalam pengoperasian HE, maka konfigurasi basic control yang baru saja dibahas tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan. Untuk mengatasinya diperlukan konfigurasi baru yang disebut enhanced control. Enhanced control ini dibentuk dengan menambah cascade control (untuk mengatasi gangguan pada manipulated variable) dan feedforward control (untuk mengatasi gangguan pada beban) serta kalkulasi/perhitungan pendukungnya pada konfigurasi basic control. Sebagai contohnya adalah konfigurasi enhanced control untuk steam heater berikut.
Konfigurasi enhanced control ini dibuat dengan asumsi gangguan yang terjadi adalah pada process flow (gangguan beban) dan pada steam flow (gangguan manipulated variable). Jika gangguan terjasi pada variable lainnya seperti process temperature, steam temperature, steam pressure atau variable lainnya, maka konfigurasi enhanced control juga akan berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar